Beyond Survival: Kolaborasi Top Management & Human Capital Hadapi Disrupsi Ekonomi 2025

Babak Baru Ketidakpastian Global

Tahun 2025 menandai babak baru dalam lanskap ekonomi global, ditandai dengan disrupsi besar-besaran di berbagai sektor industri. Lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan-perusahaan raksasa seperti Microsoft, Amazon, Meta, dan Boeing mencerminkan pergeseran fokus menuju efisiensi operasional dan adopsi teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI). Microsoft, misalnya, telah memangkas lebih dari 6.000 karyawan termasuk talenta senior sebagai bagian dari agenda restrukturisasi dan investasi dalam AI.

Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia. Lebih dari 60.000 tenaga kerja terdampak PHK dalam dua bulan pertama tahun ini, khususnya di sektor tekstil, elektronik, dan otomotif. Kebangkrutan perusahaan besar seperti Sritex menjadi cerminan nyata tekanan sistemik yang dihadapi industri manufaktur.


Ketidakstabilan Politik dan Dampaknya pada Dunia Usaha

Selain tekanan ekonomi, ketidakpastian politik global turut memperkeruh prospek bisnis. Konflik geopolitik antara kekuatan besar dunia dan konflik bersenjata di kawasan Timur Tengah dan Eropa telah mengganggu rantai pasokan dan mendorong lonjakan biaya produksi.

Di dalam negeri, situasi sosial ekonomi juga menunjukkan dinamika. Aksi protes pengemudi ojek online serta spekulasi seputar potensi merger antara GoTo dan Grab mencerminkan meningkatnya keresahan di sektor ekonomi digital informal. Dalam waktu yang sama, transisi pemerintahan nasional juga menjadi titik perhatian penting bagi pelaku usaha.

Kondisi makro ekonomi domestik juga menunjukkan tantangan nyata. Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 tercatat melambat menjadi sekitar 4,87% (year on year), lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5,0%. Tekanan inflasi yang masih tinggi, khususnya pada kelompok bahan makanan dan energi, menurunkan daya beli masyarakat dan berdampak langsung pada konsumsi rumah tangga  sebagai kontributor utama PDB nasional.

Sektor manufaktur dan ekspor juga menghadapi tekanan akibat perlambatan ekonomi global dan gangguan rantai pasok yang berkepanjangan, memaksa sejumlah pelaku usaha menunda ekspansi dan investasi baru. Indeks keyakinan konsumen (IKK) yang turun ke level terendah dalam dua tahun terakhir menunjukkan rendahnya optimisme pelaku bisnis dan konsumen.

Jumlah pengangguran yang mencapai 7,28 juta orang dan ketimpangan ketenagakerjaan antara wilayah perkotaan dan perdesaan menjadi masalah struktural yang belum terselesaikan. Transisi kepemimpinan nasional menambah ketidakpastian, khususnya terkait arah kebijakan fiskal, reformasi perpajakan, serta insentif bagi sektor digital dan ekonomi informal.

Banyak pelaku usaha menunggu kepastian apakah regulasi baru akan lebih mendukung dunia usaha atau justru menambah beban administratif.

Komitmen pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur dan hilirisasi industri memang menciptakan optimisme jangka panjang. Namun demikian, ketidakpastian masih menyelimuti arah kebijakan fiskal, reformasi perpajakan, dan perlindungan terhadap sektor digital dan UMKM.

Sebagaimana disampaikan oleh ekonom senior Chatib Basri, “Dalam kondisi global yang tidak menentu, kepastian kebijakan jauh lebih penting daripada besar kecilnya insentif. Dunia usaha butuh kejelasan arah.” Menurut Chatib, tingginya ketidakpastian dalam birokrasi dan regulasi, merupakan sumber utama kegelisahan pelaku usaha.

Dalam kondisi seperti ini, perusahaan perlu meningkatkan sensitivitas terhadap perubahan kebijakan dan mempertahankan fleksibilitas strategis untuk menjaga daya saing.

Kolaborasi Strategis: Top Management dan Human Capital Leader sebagai Pilar Ketahanan Organisasi

Menghadapi tekanan global yang makin kompleks, perusahaan tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan konvensional. Ketahanan organisasi ditentukan oleh sinergi antara pemimpin puncak dan pengelola sumber daya manusia. Peran Chief Human Resources Officer (CHRO) atau Human Capital Leader kini bertransformasi menjadi mitra strategis bagi C-Level sebagai Top Management atau Pimpinan Puncak dalam merumuskan arah bisnis yang berkelanjutan.

Kolaborasi Strategis: Top Management dan Human Capital Leader sebagai Pilar Ketahanan Organisasi

Menghadapi tekanan global yang makin kompleks, perusahaan tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan konvensional. Ketahanan organisasi ditentukan oleh sinergi antara pemimpin puncak dan pengelola sumber daya manusia. Peran Chief Human Resources Officer (CHRO) atau Human Capital Leader kini bertransformasi menjadi mitra strategis bagi puncak pimpinan manajemen dalam merumuskan arah bisnis yang berkelanjutan.

Membangun Organisasi yang Tangguh dan Adaptif

Ketahanan organisasi di tengah ketidakpastian tidak hanya bertumpu pada restrukturisasi atau efisiensi biaya, tetapi pada transformasi menyeluruh yang dipimpin oleh kolaborasi erat antara pimpinan puncak manajemen (C-Level) dan Human Capital Leaders. Empat fokus strategis berikut menjadi fondasi membangun organisasi yang adaptif:

1. Pengembangan dan Adaptasi Talenta → Diversifikasi Model Operasi

Mengembangkan talenta bukan hanya soal pelatihan teknis, tetapi juga menyiapkan mereka untuk menjawab kebutuhan bisnis yang terus berubah. Eksplorasi pasar baru dan inovasi model bisnis hanya dapat berhasil jika didukung oleh SDM yang siap dengan peran dan kompetensi baru.

Contoh Nyata:

  • Telkom Indonesia meluncurkan program Employee Ambassador yang memberdayakan karyawan untuk menjadi duta perusahaan di dunia profesional digital, memperkuat reputasi dan pengembangan diri mereka. Indotelko 
  • Unilever Indonesia menargetkan agar 5% dari tenaga kerjanya terdiri dari penyandang disabilitas pada 2025, serta meningkatkan belanja tahunan sebesar €2 miliar dengan bisnis yang beragam secara global. Unilever

2. Kepemimpinan yang Komunikatif dan Humanis → Budaya Organisasi yang Agile

Komunikasi yang transparan dan empatik menciptakan budaya kerja yang terbuka terhadap perubahan. Ini adalah prasyarat bagi agility organisasi—kemampuan untuk beradaptasi secara cepat dan kolaboratif dalam menghadapi tantangan.

Contoh Nyata:

  • Gojek membangun tim Dynamic Culture yang bertujuan mempromosikan budaya inklusif, progresif, dan adaptif bagi karyawan, yang terintegrasi dalam nilai-nilai dan operasi perusahaan. Gojek 
  • Astra International mengadakan Astra Career Meet Up 2025, sebuah inisiatif untuk memperkuat keterlibatan dan pengembangan karier karyawan melalui berbagai kegiatan dan program. 

3. Fokus pada Kesejahteraan → Ketahanan Jangka Panjang

Organisasi yang menempatkan kesejahteraan karyawan sebagai strategi bisnis, bukan sekadar program HR, akan memiliki daya tahan lebih tinggi terhadap tekanan eksternal. Wellbeing membentuk fondasi dari resiliensi individu dan kolektif.

Contoh Nyata:

  • Unilever meluncurkan Living Wage Supplier Programme untuk memastikan upah layak bagi pekerja di seluruh rantai pasoknya, bekerja sama dengan Inisiatif Perdagangan Berkelanjutan (IDH). Unilever 
  • Gojek mengembangkan strategi pemasaran berbasis data untuk mendukung efisiensi operasional dan memperkuat daya saing UMKM, yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan mitra dan pelanggan.

4. Pengambilan Keputusan Berbasis Data → Transformasi Digital yang Terpadu

Teknologi dan data menjadi enabler transformasi, tetapi nilai sejatinya muncul ketika keputusan strategis diambil dengan mempertimbangkan insight dari data SDM. Dengan begitu, transformasi digital menjadi nyata, bukan hanya kosmetik.

Contoh Nyata:

  • Gojek menggunakan strategi pemasaran berbasis data untuk memahami kebutuhan pelanggan dan preferensi mereka, meningkatkan pengalaman pengguna, dan memperkuat kepuasan pelanggan. LinkedIn 
  • Unilever Indonesia mengembangkan program Sahabat Warung yang berkontribusi signifikan terhadap penjualan langsung, menunjukkan pemanfaatan data untuk meningkatkan kinerja penjualan. Samuel

Penutup: Kepemimpinan yang Kolaboratif sebagai Kunci Masa Depan

Tahun 2025 menjadi panggung ujian bagi semua organisasi. Mereka yang mampu bertahan dan berkembang bukanlah yang paling kuat, tetapi yang paling adaptif. Di tengah kompleksitas dan ketidakpastian, kolaborasi antara puncak pimpinan termasuk Human Capital Leader menjadi krusial dalam membangun organisasi yang manusiawi, adaptif, dan berdaya tahan.

Sebagaimana sering dikemukakan dalam berbagai forum kepemimpinan global,
"In every crisis lies an opportunity. What defines us is how we respond."

Dengan kepemimpinan yang kolaboratif dan berbasis pada kekuatan manusia, perusahaan tidak hanya dapat melewati badai; tetapi juga membuka jalan menuju masa depan yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Continue Reading

Hindari subjektifitas saat rekrutmen

Ketahui potensi kandidat Anda dengan baik.
wanita sedang duduk dan melihat handphone